Malam ini saya menulis ini dalam
keadaan lapar, mengantuk, sakit tenggorokan dan sedikit sesak napas karena
kedinginan. Sesak napas ini disponsori oleh kegiatan berhujan-hujan ria sore
tadi dengan ketiga teman saya. Walaupun tidak benar-benar kuyup karena memakai
jas hujan, saya tetap kedinginan.
Jika menuliskan tentang sesak
napas ini adalah sebuah keluhan, maka anggap saja saya sebagai si pengeluh. Si
pengeluh yang suka mengeluh. Si pengeluh yang tidak pernah merasa cukup. Si
pengeluh yang tidak ingat bagaimana cara bersyukur.
Padahal, di luar sana ada
orang-orang yang harus membayar untuk bernapas: orang-orang yang terbaring di
ranjang rumah sakit dengan tabung oksigen besar di sampingnya. Saya masih
bernapas dengan cuma-cuma. Sakit-sakit sedikit seharusnya tidak perlu mengeluh,
kan?
Tapi, sungguh, saya tak bermaksud
mengeluh (walaupun kelihatannya begitu).
Tiba-tiba saya teringat kata Pak
Mario Teguh, bahwa kebanyakan dari kita tidak bisa menyelesaikan masalah karena
kita tidak tahu apa masalah yang sedang kita hadapi. Maka name your problem. Namailah masalahmu. Kemudian cari penyebabnya
dan selesaikan.
Saya sudah dapat apa nama masalah
saya: mengeluhkan banyak hal. “Kok hidup gue gini sih?” “Kok hidupnya dia enak
banget.” “Ah, mau mati aja.”
Saya berhenti sampai di situ.
Saya tidak pernah tahu apa penyebab munculnya keluhan-keluhan itu, apalagi cara
menyelesaikannya. Sampai suatu ketika Sang Mahatahu membisikkan saya, yang
tidak tahu apa-apa, bahwa penyebab keluhan-keluhan itu adalah saya yang tidak
pernah merasa cukup. Selalu merasa ada sesuatu yang kurang. Selalu ingin lebih
dan lebih.
Kata seorang teman, tidak pernah
merasa cukup memang baik untuk beberapa hal, tetapi sangat tidak baik untuk
beberapa hal yang lain. Dan saya setuju. Baiknya, ketika kita tidak cukup puas
dengan hasil kerja kita, maka itu akan memacu semangat kita untuk lebih giat. Buruknya,
(misalnya saja) ketika kita merasa tidak cukup dicintai, maka seharusnya kita
sadar, bahwa ada orang yang ingin dicintai juga oleh orang yang mencintai kita.
Ah, cinta lagi, cinta lagi. Saya pusing.
Kalau begitu sama. Saya juga
pusing. Tapi, ah, sudahlah.
Bahkan pernah, saya mengeluhkan
kecil dalam hati tentang uang saya yang tidak cukup banyak untuk membeli
baju-baju. Ternyata dalam perjalanan membeli baju dengan uang yang saya
keluhkan jumlahnya itu, saya melihat bapak tua yang sedang kelelahan menarik
gerobak yang berisi barang rongsokan. Shit.
Saya merasa lebih tak ada harganya dibanding segerobak barang rongsokan itu.
Bisa-bisanya saya mengeluhkan
uang yang saya dapat dari orangtua saya. Padahal merekalah yang mencari uang
untuk saya. Seharusnya saya berterima kasih tanpa harus mengeluh macam-macam.
Setelah itu saya simpulkan bahwa
penyelesaian atas masalah mengeluh menurut saya adalah bersyukur. Ternyata saya
hanya perlu bersyukur. Bersyukur atas segala yang saya miliki. Bersyukur atas
segala yang diberikan Tuhan. Sesederhana itu.
Melihat ke atas terkadang
menyenangkan. Karena di atas ada mimpi-mimpi yang menunggu untuk diwujudkan. Dengan melihat ke atas, kita tahu
apa-apa saja yang harus kita capai untuk sesuatu yang lebih baik.
Berada di atas juga membuat kita
bisa melihat sesuatu di bawah kita. Jangan berpura-pura menutup mata. Lihatlah.
Apakah ada yang tertinggal di bawah kita. Apakah ada yang belum sampai ke
tempat kita berdiri sekarang.
Karena berada pada ketinggian
tidak melulu soal ilmu, derajat dan martabat yang tinggi. Ada sesuatu yang
sama-sama kita takutkan akan ikut tinggi pula: hati.
Mari bersyukur! ^^
0 comments